Senin, 29 Oktober 2012

Harga dan Tipe Tablet Terbaru



1.  Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Acer Iconia Tab A501
      Harga baru Rp 4.900.000
2.  Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Acer Iconia Tab A101
       Harga baru  Rp 3.900.000
3.  Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Acer Iconia Tab A501 32GB
      Harga baru  Rp 5.600.000
4.  Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Axioo Pico Pad 
      Harga baru  Rp 1.300.000
5. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya HTC FLYER 3G WI-FI
     Harga baru Rp  4.988.000
6. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya CSL Mi700
     Harga baru Rp 3.890.000
7. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Huawei Media Pad
      Harga baru Rp 3.725.000
8. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Huawei IDEOS S7
     Harga baru Rp 1.599.000
9. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya IMO X3
     Harga baru Rp 599.000
10. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya IMO Tab X ONE
        Harga baru Rp 1.799.000
11. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya LG Optimus Pad V900
       Harga baru Rp 5.625.000
12. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Motorola XOOM 32GB MZ601
       Harga baru Rp 4.325.000
13. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Samsung Galaxy S WiFi 5.0
       Harga baru Rp 2.825.000
14. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Samsung Galaxy Tab P1010
       Harga baru Rp 2.905.000
15. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya Samsung Galaxy Tab P7500 10.1 3G 
       Harga baru Rp 5.210.000
16. Daftar Harga Tablet PC Android dan Spesifikasinya ZTE V9 Pad Light 3G+Wifi
       Harga baru Rp 2.875.000


Universitas Gadjah Mada




Universitas Gadjah Mada (bahasa Inggris: University of Gadjah Mada), disingkat UGM, merupakan universitas negeri tertua di Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1949 tentang Peraturan Tentang Penggabungan Perguruan Tinggi Menjadi Universiteit tanggal 16 Desember 1949.[1] Kampus UGM yang terletak di Yogyakarta tersebut merupakan universitas pertama yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah Indonesia merdeka.
Pada saat didirikan, Universitas Gadjah Mada hanya memiliki enam fakultas, sekarang memiliki 18 Fakultas dan satu Sekolah Pascasarjana (dahulu bernama Program Pascasarjana), dan lebih dari 100 Program Studi untuk S-2,S-3, dan Spesialis. Universitas Gadjah Mada berlokasi di Kampus Bulaksumur Yogyakarta. Sebagian besar fakultas dalam lingkungan Universitas Gadjah Mada terdiri atas beberapa jurusan/bagian dan atau program studi. Kegiatan Universitas Gadjah Mada dituangkan dalam bentuk Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri atas Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.

Sejarah

Pembentukan

Ditilik dari sejarahnya, Universitas Gadjah Mada merupakan penggabungan dan pendirian kembali dari berbagai balai pendidikan, sekolah tinggi, perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta, Klaten dan Surakarta.
Nama Gadjah Mada berawal dari dibentuknya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada yang terdiri dari Fakultas Hukum dan Fakultas Kesusasteraan. Pendirian diumumkan di Gedung KNI Malioboro pada tanggal 3 Maret 1946 oleh Mr. Boediarto, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Mr. Soenario, Dr. Soleiman, Dr. Buntaran dan Dr. Soeharto.
Sejak 4 Januari 1946 Soekarno dan Hatta memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta. Dengan maraknya pertempuran antara pejuang kemerdekaan dan Sekutu serta NICA di Jakarta dan Bandung, maka Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung ikut pindah ke Yogyakarta. Pada tanggal 17 Februari 1946, Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung dihidupkan kembali di Yogyakarta dengan para pengajarnya antara lain Prof. Ir. Rooseno dan Prof. Ir. Wreksodhiningrat.
Lembaga pendidikan lain yang berdiri pada waktu yang hampir bersamaan adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (berdiri 5 Maret 1946), Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan (berdiri 20 September 1946), Sekolah Tinggi Farmasi (berdiri 27 September 1946), dan Perguruan Tinggi Pertanian (berdiri 27 September 1946) yang kesemuanya berada di Klaten, sekitar 20 kilometer dari Yogyakarta.
Institut Pasteur di Bandung sejak 1 September 1945, turut pula dipindahkan ke Klaten dengan laboratorium di Rumah Sakit Tegalyoso. Salah seorang yang berperan dalam pemindahan ini adalah Prof. Dr. M. Sardjito yang kelak menjadi Rektor Universitas Gadjah Mada yang pertama. Kehidupan kampus di Klaten semakin ramai dengan berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi pada awal 1948.
Pada awal Mei 1948, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan mendirikan Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta atas usul Kementerian Dalam Negeri untuk mendidik calon-calon pegawai Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri dan Departemen Penerangan. Akademi ini awalnya dipimpin oleh Prof. Djokosoetono, S.H. Sayangnya akademi ini tidak berumur panjang, setelah pemberontakan PKI Madiun meletus, September 1948, akademi ini ditinggalkan para mahasiswanya yang ikut menumpas pemberontakan sehingga akademi ini ditutup.
Selanjutnya pada 1 November 1948 didirikan Balai Pendidikan Ahli Hukum di Surakarta, sebagai hasil kerja sama Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dengan Kementerian Kehakiman. Bersamaan dengan itu Panitia Pendirian Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta, yaitu Drs. Notonagoro, S.H., Koesoemadi, S.H. dan Hardjono, S.H. di Surakarta merencanakan mendirikan Sekolah Tinggi Hukum Negeri. Demi efisiensi, Panitia mengusulkan penggabungan Balai Pendidikan Ahli Hukum ke dalam Sekolah Tinggi Hukum Negeri yang akhirnya disetujui dan disahkan oleh Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1948.
Serangan Belanda ke ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta dalam rangka Agresi Militer Belanda II melumpuhkan semua kegiatan belajar mengajar di Yogyakarta, Klaten dan Surakarta dan semua perguruan tinggi tersebut terpaksa ditutup dan para mahasiswa ikut berjuang.
Setelah serangan Belanda, wilayah Republik Indonesia menjadi semakin sempit. Pada tanggal 20 Mei 1949, diadakan rapat Panitia Perguruan Tinggi, di Pendopo Kepatihan Yogyakarta yang dipimpin oleh Prof. Dr. Soetopo, dengan anggota rapat antara lain, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Prof. Dr. M. Sardjito, Prof. Dr. Prijono, Prof. Ir. Wreksodhiningrat, Prof. Ir. Harjono, Prof. Sugardo dan Slamet Soetikno, S.H. Salah satu hasil rapat adalah pendirian perguruan kembali di wilayah republik yang masih tersisa, yaitu Yogyakarta. Disepakati Prof. Ir. Wreksodhiningrat, Prof. Dr. Prijono, Prof. Ir. Harjono dan Prof. Dr. M. Sardjito akan berusaha keras mewujudkannya. Kesulitan utama saat itu adalah tidak adanya ruangan untuk kuliah. Namun Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersedia meminjamkan ruangan keraton dan beberapa gedung di sekitarnya.
Tanggal 1 November 1949, di Kompleks Peguruan Tinggi Kadipaten, Yogyakarta, berdiri kembali Fakultas Kedokteran Gigi dan Farmasi, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran. Pembukaan ketiga fakultas ini dihadiri oleh Presiden Soekarno. Pada upacara pembukaan diadakan sebuah renungan bagi para dosen dan mahasiswa yang telah gugur dalam peperangan melawan Belanda, yaitu: Prof. Dr. Abdulrahman Saleh, Ir. Notokoesoemo, Roewito, Asmono, Hardjito dan Wurjanto.
Tanggal 2 November 1949, Fakultas Teknik, Akademi Ilmu Politik serta Fakultas Hukum dan Fakultas Kesusasteraan yang berada di bawah naungan Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada ikut diresmikan.
Tanggal 3 Desember 1949 dibuka Fakultas Hukum di Yogyakarta dengan pimpinan Prof. Drs. Notonagoro, S.H.. Fakultas ini merupakan pindahan Sekolah Tinggi Hukum Negeri Solo.
Akhirnya tanggal 19 Desember 1949, lahirlah Universitas Gadjah Mada dengan enam fakultas. Menurut Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949, keenam fakultas tersebut adalah:
  1. Fakultas Teknik (di dalamnya termasuk Akademi Ilmu Ukur dan Akademi Pendidikan Guru Bagian Ilmu Alam dan Ilmu Pasti);
  2. Fakultas Kedokteran, yang di dalamnya termasuk bagian Farmasi, bagian Kedokteran Gigi dan Akademi Pendidikan Guru bagian Kimia dan limu Hayat;
  3. Fakultas Pertanian di dalamya ada Akademi Pertanian dan Kehutanan;
  4. Fakultas Kedokteran Hewan;
  5. Fakultas Hukum, yang di dalamnya termasuk Akademi Keahlian Hukum, Keahlian Ekonomi dan Notariat, Akademi Ilmu Politik dan Akademi Pendidikan Guru Bagian Tatanegara, Ekonomi dan Sosiologi;
  6. Fakultas Sastra dan Filsafat, yang di dalamnya termasuk Akademi Pendidikan Guru bagian Sastra.
Sebagai Rektor yang pertama (Presiden) ditetapkan Prof. Dr. M. Sardjito. Pada saat yang sama juga ditetapkan Senat UGM dan Dewan Kurator UGM. Dewan Kurator UGM terdiri dari Ketua Kehormatan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Ketua adalah Sri Paku Alam VIII, seorang wakil ketua dan anggota.

Perkembangan
Tahun 1952 Fakultas Hukum, Sosial dan Politik ditambah dengan bagian ekonomi sehingga menjadi Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik HESP). Pada bulan September 1952 Fakultas Pertanian ditambah dengan Bagian Kehutanan, sehingga menjadi Fakultas Pertanian dan Kehutanan.
Sejak September 1955, beberapa fakultas dimekarkan menjadi fakultas-fakultas baru, antara lain:
  • Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Farmasi menjadi Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi dan Fakultas Farmasi.
  • Bagian Bakaloreat Biologi Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan Farmasi menjadi Fakultas Biologi.
  • Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik dipecah menjadi tiga fakultas, yaitu: Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi dan Fakultas Sosial dan Politik.
  • Fakultas Sastra, Pedagogik dan Filsafat dipecah menjadi tiga fakultas, yaitu: Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Fakulas Filsafat.
  • Tingkat pengajaran Bakaloreat Ilmu Pasti dan Bakaloreat Ilmu Alam pada Bagian Sipil Fakultas Teknik dijadikan Fakultas Ilmu Pasti dan Alam.
  • Fakultas Ilmu Pendidikan mempunyai dua bagian yaitu Bagian Pendidikan dan Bagian Pendidikan Jasmani.
  • Fakultas Kedokteran Hewan diuubah namanya menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan.
Pada tahun 1960 Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi dipisahkan menjadi Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi.
Pada tahun 1962 Bagian Pendidikan Jasmani dari Fakultas Ilmu Pendidikan ditingkatkan menjadi Fakultas Pendidikan Jasmani. Fakultas ini diserahkan pada Departemen Olah Raga pada tahun 1963 dan menjadi Sekolah Tinggi Olah Raga (STO).
Untuk memberikan pendidikan umum yang kuat bagi semua Fakultas, didirikan pula Fakultas Umum, dan digabungkan dengan Fakultas Filsafat menjadi Gabungan Fakultas Umum dan Fakultas Filsafat. Pada tahun 1961 Fakultas Filsafat dibubarkan dan pada tahun 1962 Fakultas Umum juga dibubarkan. Sebagai penggantinya tahun 1963 didirikan Biro Penyelenggara Kuliah-Kuliah khusus untuk melaksanakan tugas yang semula menjadi tugas gabungan Fakultas Umum dan Fakultas Filsafat. Namun pada tanggal 18 Agustus 1967 Fakultas Filsafat didirikan kembali dan pada tahun 1969 Biro Penyelenggara Kuliah-Kuliah khusus dimasukkan dalam Fakultas Filsafat sebagai Biro Penyelenggara Kuliah-Kuliah Agama.
Pada tahun 1963 Bagian Kehutanan Fakultas Pertanian ditingkatkan menjadi Fakultas Kehutanan, seksi teknologi dan seksi kultur teknik menjadi Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tahun itu pula Jurusan Geografi pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan ditingkatkan menjadi Fakultas Geografi.
Jurusan Psikologi pada FIP menjadi Bagian Psikologi yang kemudian pada tanggal 8 Januari 1965 menjadi Fakultas Psikologi.
Pada tahun 1969 Fakultas yang ke-18 lahir yaitu Fakultas Peternakan yang merupakan peningkatan Bagian Peternakan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan.
Semenjak tahun 1983 Universitas Gadjah Mada memiliki 18 Fakultas Program Sarjana, dua Fakulas Program Diploma (Fakultas Non Gelar Ekonomi dan Fakultas Non Gelar Teknologi) dan satu Fakultas Pascasarjana (Magister dan Doktor). Awal tahun 1992 terjadi penyederhanaan jumlah fakultas, Fakultas Pascasarjana diubah menjadi Program Pascasarjana, sedangkan Fakultas Non Gelar Ekonomi diintegrasikan ke Fakultas Ekonomi dan Fakultas Non Gelar Teknologi diintegrasikan ke Fakultas Teknik.

Fakultas

Berikut ini adalah fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan yang ada di UGM. Jurusan adalah level terendah dari struktur organisasi. Di bawah jurusan, terdapat program-program studi dalam berbagai jenjang.
  • Fakultas Biologi
  • Fakultas Ekonomika dan Bisnis
    • Jurusan Ilmu Ekonomi
    • Jurusan Manajemen
    • Jurusan Akuntansi
  • Fakultas Farmasi
  • Fakultas Filsafat
  • Fakultas Geografi
    • Jurusan Geografi dan Ilmu Lingkungan
    • Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh
    • Jurusan Pembangunan Wilayah
  • Fakultas Hukum
  • Fakultas Ilmu Budaya
    • Jurusan Pariwisata
    • Jurusan Antropologi
    • Jurusan Arkeologi
    • Jurusan Sastra Asia Barat
    • Jurusan Ilmu Sejarah
    • Jurusan Sastra Indonesia
    • Jurusan Sastra Inggris
    • Jurusan Sastra Jepang
    • Jurusan Bahasa Korea
    • Jurusan Sastra Nusantara
    • Jurusan Sastra Prancis
  • Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
    • Jurusan Politik dan Pemerintahan(sebelum tahun 2010 bernama Jurusan Ilmu Pemerintahan)
    • Jurusan Hubungan Internasional
    • Jurusan Manajemen & Kebijakan Publik (sebelum tahun 2010 bernama Jurusan Ilmu Administrasi Negara)
    • Jurusan Komunikasi
    • Jurusan Sosiologi
    • Jurusan Pembangunan Sosiak & Kesejahteraan (sebelum tahun 2010 bernama Jurusan Sosiatri)
  • Fakultas Kedokteran
    • Jurusan Pendidikan Dokter
    • Jurusan Ilmu Keperawatan
    • Jurusan Gizi Kesehatan
  • Fakultas Kedokteran Gigi
  • Fakultas Kedokteran Hewan
  • Fakultas Kehutanan
    • Jurusan Manajemen Hutan
    • Jurusan Budidaya Hutan
    • Jurusan Teknologi Hasil Hutan
    • Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan
  • Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam)
    • Jurusan Fisika
    • Jurusan Kimia [1]
    • Jurusan Matematika
    • Jurusan Ilmu Komputer dan Elektronika
  • Fakultas Pertanian
    • Jurusan Budidaya Pertanian
    • Jurusan Perlindungan Tanaman
    • Jurusan Tanah
    • Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
    • Jurusan Mikrobiologi Pertanian
    • Jurusan Perikanan
  • Fakultas Peternakan
    • Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
    • Jurusan Produksi Ternak
    • Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan
    • Jurusan Teknologi Hasil Ternak
  • Fakultas Psikologi
  • Fakultas Teknik
  • Fakultas Teknologi Pertanian
    • Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian
    • Jurusan Teknik Pertanian
    • Jurusan Teknologi Industri Pertanian
  • Sekolah Vokasi
    • Komputer dan Sistem Informasi
    • Rekam Medis
    • Bidan Pendidik (D4)
    • Agroindustri
    • Pengelolaan Hutan
    • Kesehatan Hewan
    • Elektronika dan Instrumentasi
    • Teknik Elektro
    • Teknik Mesin
    • Teknik Sipil
    • Teknik Geomatika
    • Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh
    • Ekonomika Terapan
    • Akuntansi
    • Manajemen
    • Kearsipan
    • Hukum
    • Bahasa Mandarin
    • Bahasa Korea
    • Bahasa Jepang
    • Bahasa Inggris
    • Bahasa Perancis
    • Kepariwisataan


Rabu, 24 Oktober 2012


Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Bukittinggi sebelumnya disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya pernah dijuluki sebagai Parijs van Sumatra selain kota Medan. Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam mirip Big Ben yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada pada tepi sebuah lembah bernama Ngarai Sianok.

Sejarah
Kota Bukittinggi mulai berdiri seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825[6] pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota),[7] dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.[8]
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kenpeitai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[9] Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibu kota provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10] Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai ibu kota negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.[11][12]
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi Kota Besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah masa itu,[13] yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau sekarang.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan PP Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok Anam Suku, Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang.[14] Namun sebagian masyarakat di 12 nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi, sehingga peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan.[15]

Geografi
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.

Kependudukan

Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[3] Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka dizinkan pemerintah Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock, yang terletak di bagian barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.
Tahun
2008
2010
Jumlah penduduk
106.045
Green Arrow Up.svg110.954

Pemerintahan

Sejak tahun 1918 kota Bukittinggi telah berstatus gemeente,[16] selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2 km².[17] Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun Jepang.
Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh Kabupaten Agam, dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas wilayah masih berlanjut,[18] ditambah setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah kota Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km², dengan memasukan beberapa nagari yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi kota Bukittinggi.[19]
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota, muncul kembali penolakan dari masyarakat Kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan wilayah Kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat Kabupaten Agam yang masuk ke dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan berada dalam sistem kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota yang telah heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.
Pendidikan
Sejak zaman kolonialis Belanda, kota ini telah menjadi pusat pendidikan di Pulau Sumatera.[21] Dimulai sejak tahun 1872, dengan berdirinya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (sekolah guru untuk guru-guru bumiputera) atau dikenal juga dengan nama sekolah radja, yang selanjutnya berkembang menjadi volksschool atau sekolah rakyat. Kemudian pada tahun 1912 muncul Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang dilanjutkan dengan berdirinya Sekolah Pamong Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA) tahun 1918. Pada tahun 1926 juga telah berdiri MULO di kota Bukittinggi.[22]
Pada masa awal kemerdekaan di kota ini pernah berdiri sekolah Polwan dan Kadet serta sekolah Pamong Praja yang pertama di Indonesia. [23] Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan FKIP IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang) juga pertama kali didirikan di kota ini sebelum dipindahkan ke Kota Padang.[24]
SD atau MI negeri dan swasta
SMP atau MTs negeri dan swasta
SMA negeri dan swasta
MA negeri dan swasta
SMK negeri dan swasta
Jumlah satuan
65
19
11
5
13
4








Kesehatan
Kota Bukittinggi telah memiliki pelayanan kesehatan yang baik, kota dengan luas relatif kecil ini telah memiliki 5 rumah sakit, yaitu 3 milik pemerintah dan 2 milik swasta. Selain itu, juga didukung oleh 5 puskesmas, 6 puskesmas keliling, dan 15 puskesmas pembantu. Salah satu yang utama adalah Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar, merupakan rumah sakit umum milik pemerintah bertipe B dengan jumlah tempat tidur sebanyak 299.[27]
Rumah Sakit Stroke Nasional yang terdapat di kota ini, merupakan rumah sakit milik pemerintah dengan pelayanan khusus penyakit stroke, dan memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 124 buah.[28][29] Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus pengobatan stroke pertama di Indonesia dan ketiga di dunia.[24] Selain itu terdapat juga Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, sebuah rumah sakit swasta yang telah memiliki kapasitas tempat tidur sebanyak 136 buah.[27]
Sementara itu untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, sampai tahun 2009 terdapat 8 institusi pendidikan tenaga kesehatan di Kota Bukittinggi. 2 institusi milik pemerintah (Poltekes) dan 6 dikelola oleh pihak swasta.[27]
Perhubungan

Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera, yang menghubungkan Padang, Medan, dan Palembang, serta berada di antara Padang dan Pekanbaru. Terminal Aur Kuning merupakan terminal utama untuk angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara untuk transportasi dalam kota, tersedia angkutan kota, taksi, dan bendi (kereta kuda).
Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api yang menghubungkan Kota Payakumbuh dan Kota Padang, yang dibangun sekitar awal abad ke-20. Namun pada dekade 1970-an, sarana transportasi ini tidak diaktifkan lagi. Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non-kelas yang bernama Bandara Bukittinggi.[30]
Perekonomian
Perkembangan pasar Loih Galuang yang sekarang disebut juga Pasar Ateh, membuat pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1900 mengembangkan sebuah loods ke arah timur, tepatnya pada kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit. Karena lokasi pasar tersebut berada di kemiringan, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng. Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar, di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Pasar-pasar tradisional di sekitar kawasan Jam Gadang ini, kemudian berkembang menjadi tempat penjualan hasil kerajinan tangan dan cinderamata khas Minangkabau. Dalam penataan pasar, pemerintah Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang (anak tangga), dan di antara anak tangga yang terkenal adalah Janjang 40.
Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan, pemerintah Kota Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera. Disebabkan luas wilayah yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan yang tepat bagi pemerintah Kota Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan penduduknya.
Selain itu pemerintah Kota Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan kemiskinan, di antaranya pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya, serta penumbuhan wirausaha baru.[31] Bordir asli Bukittinggi biasanya menggunakan teknik krancang langsung yang tergolong rumit dan memakan waktu. Ini berbeda dengan barang hasil serupa buatan Tasikmalaya, Jawa Barat yang menggunakan teknik krancang solder. [32]
Pariwisata

Pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu sektor andalan bagi Kota Bukittinggi. Banyaknya objek wisata yang menarik, menjadikan kota ini dijuluki sebagai "kota wisata". Saat ini di kota Bukittinggi telah terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.[33] Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara lain The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako, dan baru-baru ini juga dibangun Hotel Rocky.
Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut dengan Lubang Japang.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau. Kebun Binatang Bukittinggi dan benteng Fort de Kock, dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi.
Pasar Ateh (Pasar Atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir,[34] serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat, seperti keripik sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, karupuak jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau, dan karak kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8. Saat ini juga telah dibangun beberapa pusat perbelanjaan modern di Kota Bukittinggi.
Olahraga
Masyarakat Kota Bukittinggi sangat menyukai olahraga berkuda, dan setiap tahunnya kota ini mengadakan lomba pacu kuda di Bukit Ambacang, yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1889.[6] Perlombaan pacu kuda ini merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan dibeberapa kawasan lain di Sumatera Barat. Dengan adanya pelombaan ini, mendorong para peternak kuda untuk tetap bertahan dan memanfaatkan tradisi ini sebagai sumber mata pencarian.[35]
Pers dan media
Sekitar tahun 1924 di kota ini diterbitkan surat kabar Periodik yang dipimpin oleh S. Moesjafir, kemudian disusul penerbitan surat kabar mingguan Doenia Achirat oleh Sain al Malik dan Soetan Perpatih, namun surat kabar ini tidak berumur panjang. Selain itu beberapa tokoh pers wanita di kota ini seperti Djanewar Djalil dan Sjamsidar Jahja juga menerbitkan surat kabar Soeara Poetri yang mengetengahkan beberapa isu emansipasi wanita.[36]
Pada masa pendudukan Jepang, di kota ini pernah didirikan pemancar radio terbesar untuk Pulau Sumatera. Pemancar ini dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan Perang Asia Timur Raya versi Jepang.[37] Di kota ini terdapat beberapa stasiun pemancar radio sebagai sarana informasi dan hiburan masyarakat, antara lain: RRI Bukittinggi, Elsi FM[38], SK FM[39], dan GRC FM.[40]