Kota Bukittinggi
Bukittinggi sebelumnya disebut dengan Fort de Kock dan dahulunya pernah dijuluki sebagai Parijs van Sumatra selain kota Medan. Kota ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Agam. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam mirip Big Ben yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada pada tepi sebuah lembah bernama Ngarai Sianok.
Sejarah
Kota Bukittinggi mulai berdiri
seiring dengan kedatangan Belanda yang kemudian mendirikan kubu pertahanan pada tahun 1825[6]
pada masa Perang Padri di salah satu bukit yang terdapat dalam kota ini. Tempat
ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir
Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Kemudian pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian
berkembang menjadi sebuah Stadsgemeente (kota),[7]
dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan
Onderafdeeling Oud Agam.[8]
Pada masa pendudukan Jepang, Kota Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian
pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan
sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kenpeitai,
di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[9]
Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi
Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari
sekitarnya seperti Sianok
Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang
Gadang, Batu Taba dan Bukit
Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut
masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi dipilih menjadi ibu kota provinsi Sumatera,
dengan gubernurnya
Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10]
Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota
berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan
Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada
tanggal 19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai ibu kota negara Indonesia
setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara,
berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember
2006.[11][12]
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi
Kota Besar berdasarkan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam
lingkungan daerah provinsi Sumatera Tengah
masa itu,[13]
yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat,
Jambi, Riau dan Kepulauan Riau
sekarang.
Dalam rangka perluasan wilayah kota,
pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan PP
Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar
Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok
Anam Suku, Guguak
Tabek Sarojo, Ampang
Gadang, Ladang
Laweh, Pakan
Sinayan, Kubang
Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto
Gadang.[14]
Namun sebagian masyarakat di 12 nagari tersebut menolak untuk bergabung dengan
Bukittinggi, sehingga peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat
dilaksanakan.[15]
Geografi
Kota Bukittinggi terletak pada
rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dan
dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang
dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan
laut, dan memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara
16.1–24.9 °C. Sementara dari total luas wilayah kota Bukittinggi saat ini
(25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya
merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi
berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah
perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin,
Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang,
Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga
dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang
didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang
Masang.
Kependudukan
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya
peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini
ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun
1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat mengejanya dengan loih,
dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini kota Bukittingi merupakan
kota terpadat di provinsi Sumatera Barat, dengan jumlah angkatan kerja 52.631
orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[3]
Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau,
namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan
dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka dizinkan pemerintah
Hindia-Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit benteng Fort de Kock, yang
terletak di bagian barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini
dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan
di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang
disebut juga Kampung Keling.
|
Tahun
|
2008
|
2010
|
|
Jumlah penduduk
|
106.045
|
Pemerintahan
Sejak tahun 1918 kota Bukittinggi telah berstatus gemeente,[16] selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2 km².[17] Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia-Belanda maupun Jepang.Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh Kabupaten Agam, dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas wilayah masih berlanjut,[18] ditambah setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah kota Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km², dengan memasukan beberapa nagari yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi kota Bukittinggi.[19]
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota, muncul kembali penolakan dari masyarakat Kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan wilayah Kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat Kabupaten Agam yang masuk ke dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan berada dalam sistem kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota yang telah heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.
Pendidikan
Sejak zaman kolonialis Belanda, kota ini
telah menjadi pusat pendidikan di Pulau Sumatera.[21]
Dimulai sejak tahun 1872, dengan berdirinya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (sekolah guru untuk guru-guru bumiputera) atau dikenal juga
dengan nama sekolah radja, yang selanjutnya berkembang menjadi volksschool
atau sekolah rakyat. Kemudian pada tahun 1912 muncul Hollandsch
Inlandsche School (HIS), yang dilanjutkan dengan
berdirinya Sekolah Pamong Opleiding
School voor Inlandsch Ambtenaren
(OSVIA) tahun 1918. Pada
tahun 1926 juga
telah berdiri MULO di kota Bukittinggi.[22]
Pada masa awal kemerdekaan di kota
ini pernah berdiri sekolah Polwan dan Kadet serta sekolah Pamong Praja
yang pertama di Indonesia. [23]
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan FKIP IKIP Padang (sekarang Universitas
Negeri Padang) juga pertama kali didirikan di
kota ini sebelum dipindahkan ke Kota Padang.[24]
|
SMA negeri dan swasta
|
MA negeri dan swasta
|
SMK negeri dan swasta
|
||||
|
Jumlah satuan
|
65
|
19
|
11
|
5
|
13
|
4
|
Kesehatan
Kota Bukittinggi telah memiliki
pelayanan kesehatan yang baik, kota dengan luas relatif kecil ini telah
memiliki 5 rumah sakit, yaitu 3 milik pemerintah dan 2 milik swasta. Selain
itu, juga didukung oleh 5 puskesmas,
6 puskesmas keliling, dan 15 puskesmas pembantu. Salah satu yang utama adalah
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar, merupakan rumah sakit umum milik
pemerintah bertipe B dengan jumlah tempat tidur sebanyak 299.[27]
Rumah Sakit Stroke Nasional yang terdapat di kota ini, merupakan rumah sakit milik
pemerintah dengan pelayanan khusus penyakit stroke, dan memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 124 buah.[28][29]
Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus pengobatan stroke pertama
di Indonesia dan ketiga di dunia.[24]
Selain itu terdapat juga Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, sebuah rumah sakit swasta yang telah memiliki kapasitas
tempat tidur sebanyak 136 buah.[27]
Sementara itu untuk meningkatkan
ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan
kesehatan masyarakat, sampai tahun 2009 terdapat 8 institusi pendidikan tenaga
kesehatan di Kota Bukittinggi. 2 institusi milik pemerintah (Poltekes) dan 6
dikelola oleh pihak swasta.[27]
Perhubungan
Kota Bukittinggi berada pada posisi
strategis Jalur
Lintas Sumatera, yang menghubungkan Padang, Medan, dan Palembang, serta berada di antara Padang dan Pekanbaru. Terminal
Aur Kuning merupakan terminal utama untuk
angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara untuk transportasi dalam
kota, tersedia angkutan kota, taksi, dan bendi (kereta kuda).
Sebelumnya kota ini dilalui oleh
jalur kereta api yang menghubungkan Kota Payakumbuh
dan Kota Padang, yang dibangun sekitar awal abad ke-20. Namun pada dekade
1970-an, sarana transportasi ini tidak diaktifkan lagi. Kota ini juga telah
memiliki sarana transportasi udara non-kelas yang bernama Bandara
Bukittinggi.[30]
Perekonomian
Perkembangan pasar Loih Galuang
yang sekarang disebut juga Pasar Ateh, membuat pemerintah Hindia-Belanda
pada tahun 1900 mengembangkan sebuah loods ke arah timur, tepatnya pada
kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki
bukit. Karena lokasi pasar tersebut berada di kemiringan, masyarakat setempat
menyebutnya dengan nama Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng.
Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar,
di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Pasar-pasar tradisional
di sekitar kawasan Jam Gadang ini, kemudian berkembang menjadi tempat penjualan hasil
kerajinan tangan dan cinderamata khas Minangkabau. Dalam penataan pasar,
pemerintah Hindia-Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang
(anak tangga), dan di antara anak tangga yang terkenal adalah Janjang 40.
Untuk mengurangi penumpukan pada
satu kawasan, pemerintah Kota Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan
perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar
Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu
pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera. Disebabkan luas wilayah
yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan yang tepat bagi pemerintah
Kota Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan penduduknya.
Selain itu pemerintah Kota
Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan kemiskinan, di
antaranya pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya,
serta penumbuhan wirausaha baru.[31]
Bordir asli Bukittinggi biasanya menggunakan teknik krancang langsung yang
tergolong rumit dan memakan waktu. Ini berbeda dengan barang hasil serupa
buatan Tasikmalaya, Jawa Barat yang menggunakan teknik krancang solder. [32]
Pariwisata
Pembangunan kepariwisataan merupakan
salah satu sektor andalan bagi Kota Bukittinggi. Banyaknya objek wisata yang
menarik, menjadikan kota ini dijuluki sebagai "kota wisata". Saat ini
di kota Bukittinggi telah terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.[33]
Hotel-hotel yang terdapat di kota Bukittinggi antara lain The
Hills (sebelumnya Novotel), Hotel
Pusako, dan baru-baru ini juga dibangun
Hotel Rocky.
Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama
yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat
keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua
bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II
yang disebut dengan Lubang
Japang.
Di Taman Bundo Kanduang terdapat
replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau.
Kebun
Binatang Bukittinggi dan benteng Fort de Kock, dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh.
Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan
jalan utama di Kota Bukittinggi.
Pasar Ateh (Pasar Atas) berada
berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di Pasar Ateh terdapat
banyak penjual kerajinan tangan dan bordir,[34]
serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat, seperti keripik sanjai
(keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong,
karupuak
jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi
atau kerbau, dan karak
kaliang, sejenis makanan kecil khas
Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8. Saat ini juga telah dibangun
beberapa pusat perbelanjaan modern di Kota Bukittinggi.
Olahraga
Masyarakat Kota Bukittinggi sangat
menyukai olahraga berkuda, dan setiap tahunnya kota ini mengadakan lomba pacu kuda
di Bukit Ambacang, yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1889.[6]
Perlombaan pacu kuda ini merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan
dibeberapa kawasan lain di Sumatera Barat. Dengan adanya pelombaan ini,
mendorong para peternak kuda untuk tetap bertahan dan memanfaatkan tradisi ini
sebagai sumber mata pencarian.[35]
Pers
dan media
Sekitar tahun 1924 di kota ini
diterbitkan surat kabar Periodik yang dipimpin oleh S. Moesjafir,
kemudian disusul penerbitan surat kabar mingguan Doenia Achirat oleh
Sain al Malik dan Soetan Perpatih, namun surat kabar ini tidak berumur panjang.
Selain itu beberapa tokoh pers wanita di kota ini seperti Djanewar Djalil dan
Sjamsidar Jahja juga menerbitkan surat kabar Soeara Poetri yang
mengetengahkan beberapa isu emansipasi wanita.[36]
Pada masa pendudukan Jepang, di kota
ini pernah didirikan pemancar radio terbesar untuk Pulau Sumatera. Pemancar ini dalam rangka
mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan Perang Asia Timur
Raya versi Jepang.[37]
Di kota ini terdapat beberapa stasiun pemancar radio sebagai sarana informasi
dan hiburan masyarakat, antara lain: RRI Bukittinggi, Elsi FM[38],
SK FM[39],
dan GRC FM.[40]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar